Kasus Steven dan Ancaman Terhadap Kebhinnekaan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersikap tegas menghadapi setiap permasalahan yang dapat mengancam kebhinnekaan dan perpecahan bangsa.

Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersikap tegas menghadapi setiap permasalahan yang dapat mengancam kebhinnekaan dan perpecahan bangsa. Keadilan dalam hukum tidak boleh tebang pilih, tidak boleh lemah dan jangan sampai kalah oleh kepentingan individu atau kelompok. Disisi lain, kita sebagai sesama masyarakat dan warga Indonesia juga harus saling menghargai dan menjaga keharmonisan serta menyadari pentingnya persatuan bangsa.

Potret persatuan dan kesatuan anak bangsa sekarang ini bisa dibilang mengalami kemerosotan yang drastis. Faktor perbedaan ditambah munculnya gesekan, baik antar individu maupun antar kelompok pasti berujung dengan aksi saling hujat, penghinaan dan bahkan perkelahian.

Kejadian yang masih hangat diperbincangkan oleh seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) yaitu tindakan pelecehan terhadap Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi. Peristiwa ini terjadi saat TGB bersama istri melakukan atrian di Bandar Udara Changi, Singapura pada 9 April 2017 lalu.

Diawali salah paham antrian di bandara, Steven Hadisurya Sulistyo telah mengeluarkan makian dan umpatan tidak etis kepada Gubernur dengan menyebut kata-kata rasis “Dasar Indo, Dasar Indonesia, Dasar Pribumi, Tiko”. Yang mengejutkan adalah arti kata “Tiko” ternyata itu singkatan dari “tikus kotor” bahkan bisa memiliki arti “ti= babi” dan “ko= anjing.”

Gubernur NTB tersebut akhirnya memutuskan untuk mengadukan penghinaan tersebut setelah mengetahui bahwa arti “Tiko” ternyata seperti itu. Namun setelah diadukan kepada pihak yang berwenang, Steven kemudian membuat surat permintaan maaf bermaterai.

Tindakan rasisme seperti ini, dalam kacamata hukum harus diproses sesuai UU yang berlaku meskipun gubernur secara pribadi sudah memaafkan dan tidak ingin melanjutkan permasalahan ini ke jalur hukum. Perlu diperhatikan, UU Anti Diskriminasi Ras sesuai Sila ke-5 Pancasila yaitu keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia bukan hanya demi melindungi minoritas namun juga mayoritas dari perlakuan diskriminatif secara negatif dari pihak manapun. Berarti mayoritas tidak boleh menghina minoritas namun minoritas juga tidak boleh menghina mayoritas.

Kejadian ini tidak bisa kita anggap sepele dan selesai dengan permintaan maaf mengingat kejadian yang serupa sudah marak sekali terjadi di Indonesia. Hal ini jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kata-kata yang buruk dan bernada hujatan bisa menghancurkan bangsa, dapat menimbulkan kebencian, dendam dan permusuhan diantara sesama anak bangsa.

Analisa sederhana dari sederet peristiwa seperti maraknya aksi saling hujat, saling memaki, penghinaan atau penistaan terhadap agama, tokoh agama dan aksi rasisme, salah satunya bersumber dari hukum yang pasif. Artinya hukum dan undang-undang tidak mampu melindungi individu, kelompok maupun masyarakat secara utuh. Hukum dan undang-undang sudah ada, akan tetapi aplikasi dan penerapannya masih jauh dari apa yang diharapkan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
intan

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua